Thursday, April 06, 2006

Horison : Sate Landak, Santapan Khas Tawangmangu


Tawangmangu merupakan suatu kawasan wisata di lereng Gunung Lawu, Jawa Tengah. Lokasinya terletak sekitar 40 kilometer dari Kota Solo, Jawa Tengah.

Salah satu objek wisata yang paling dikenal di tempat ini adalah Air Terjun Grojogan Sewu. Di sekitar Taman Grojogan Sewu ini terdapat kera yang bebas berkeliaran.

Di sekitar kawasan wisata ini, tepatnya di pinggir Jalan Raya Tawangmangu Kilometer 2, Kecamatan Matesih, Kabupaten Karanganyar, Jawa Tengah, terdapat sebuah rumah makan yang memiliki menu khas, yakni sate landak.

Awalnya, Sukatno, sang pemilik warung, tidak menjadikan daging landak sebagai menu makanan khas yang ditawarkan kepada para wisatawan. Ia bersama keluarganya menyantap sendiri daging landak yang kerap kali tertangkap dalam kandang jebakan di kebun salak miliknya. Landak memang merupakan hewan pengerat yang kerapkali merusak tanaman di kebun.

Sejak tahun 1998, Pak Sukatno mulai serius menekuni bisnis sate landak ini. Apalagi bahan bakunya tidak sulit didapat. Stok landak diperolehnya dengan menangkap landak yang berkeliaran di kebun salak di samping rumahnya. Selain itu ia juga menampung landak hasil tangkapan warga sekitar yang mencarinya di perbukitan. Untuk setiap landak seberat tujuh kilogram dihargai Sukatno seharga 140 ribu rupiah. Landak yang dagingnya enak dimakan, yang beratnya lebih dari 5 kilogram.

Untuk menyembelih landak membutuhkan teknik khusus, karena durinya yang sangat tajam. Sebelum disembelih landak dimasukkan kedalam karung agar lemas. Setelah disembelih, disiram air panas agar durinya mudah dicabut dan dikuliti .

Hampir semua bagian tubuh landak memiliki khasiat bila dimakan. Hatinya jika dibakar berkhasiat untuk menyembuhkan penyakit asma. Kulitnya dapat dibuat menjadi asem-asem. Sedangkan daging dan ekornya bagus untuk meningkatkan vitalitas pria. Daging landak yang sudah dicuci bersih, kemudian dipotong kecil-kecil. Menu favorit pembeli adalah sate landak.

Warung Sukatno tidak hanya menjual sate landak. Pembeli juga bisa menikmati tongseng landak dan rica-rica landak. Harganya berkisar 10 ribu hingga 15 ribu rupiah per porsi.

Para pembeli biasanya ramai pada hari Sabtu dan Minggu serta hari-hari libur nasional. Karena saat itu banyak wisatawan yang datang. Salah seorang pembeli bernama Yuni menyatakan, ini sudah kedua kalinya dirinya menyantap sate landak di tempat ini. Rasanya enak seperti daging kambing. Bedanya, daging landak seratnya lebih sedikit.

Sate landak kini merupakan makanan khas kawasan wisata Tawangmangu. Tidak jarang wisatawan yang datang hanya karena ingin menikmati sate landak. Bukan hanya sekedar ingin menikmati pemandangan dan perut kenyang, tetapi juga karena percaya akan khasiat daging landak.

Memburu Landak Hingga ke Sarang

Landak, bukanlah hewan asing bagi masyarakat di desa sepanjang Kecamatan Matesih Kabupaten Karanganyar, Jawa Tengah. Sejak tiga tahun belakangan ini, menangkap landak merupakan penghasilan tambahan bagi warga desa yang umumnya berprofesi sebagai petani.

Persiapan menangkap landak dilakukan sejak siang hari. Warga secara berkelompok, yang terdiri dari tiga hingga sepuluh orang, melakukan persiapan menjerat landak. Seperti yang dilakukan Anjar bersama dua orang rekannya ini. Untuk menangkap landak, berbagai peralatan perlu dipersiapkan. Terutama kandang jebakan yang terbuat dari besi.

Jebakan ini dibuat dengan ukuran cukup untuk menangkap landak dengan berat enam kilogram. Selain itu juga disiapkan umpan. Biasanya berupa umbi dari tanaman yang banyak terdapat di pekarangan rumah.

Lokasi menangkap landak yang akan dituju di Bukit Jambon. Di tempat tersebut memang masih banyak terdapat landak yang bersarang di dalam lubang. Jarak dari pemukiman warga ke Bukit Jambon sekitar lima kilometer.

Setiba di atas bukit, Anjar bersama rekan-rekannya mencari lubang sarang. Landak yang merupakan binatang mamalia biasanya bersarang di tempat yang rimbun dengan pepohonan yang jarang dilalui orang.

Lubang sarang landak biasanya sedalam lebih dari lima meter yang dibuat saling sambung menyambung. Untuk mengenali sarang landak, tinggal melihat timbunan tanah yang terdapat lubang. Kandang jebakanpun dipasang. Tidak lupa disiapkan umpan. Setelah jebakan dan umpan dipasang, para pemburu landak harus menjauh dari sarang. Karena landak tidak akan keluar sarang begitu mencium bau manusia.

Malampun tiba. Anjar bersama teman-temannya kembali ke Bukit Jambon. Ternyata upaya anjar bersama teman-temannya tidak sia-sia. Seekor landak terjebak di dalam kandang. Landak ini diperkirakan seberat enam kilogram dan layak untuk dimakan.

Untuk mengeluarkan landak dari kandang jebakan tidak mudah. Karena kalau tidak hati-hati para penangkapnya bisa terkena bulu landak yang berduri tajam.

Setelah landak dipindahkan, kandang jebakan dan umpan kembali dipasang. Siapa tahu malam ini masih ada landak yang terjebak masuk ke kandang. Hasil yang diperoleh pemburu landak tidak menentu. Kalau sedang beruntung, biasanya di dalam satu lubang mereka dapat menangkap hingga 8 ekor landak.

Hasil tangkapan sebagian dipotong untuk dimakan. Sebagian lagi dijual ke pedagang. Daging landak dapat dibuat menjadi berbagai macam makanan. Seperti sate dan tongseng. Kebiasaan warga memakan daging landak ini sudah berlangsung selama tiga tahun belakangan ini. Karena landak banyak didapat dan dagingnya enak dimakan.

Bagi warga sekitar Tawangmangu, landak kini tidak lagi merupakan hewan yang semata-mata menjadi hama tanaman. Landak juga dapat dijadikan bahan makanan dan komoidi yang laku dijual untuk penghasilan tambahan.(Eliza Amanda - Heru Desembri)

Friday, February 24, 2006

Dendeng Tokek, Primadona Bisnis Ponorogo


Masyarakat Kecamatan Leces, Kabupaten Probolinggo, Jawa Timur, sejak tahun 70, telah akrab dengan tokek. Seperti kesibukan sehari-hari yang terlihat di rumah Pak Haji Budi Prabudi. Di tempat ini, binatang mirip cicak berukuran agak besar, diolah menjadi bahan makanan kering atau dendeng.

Bisnis pengolahan tokek ini, ternyata mendatangkan keuntungan menggiurkan. Saat bisnis ini pertama kali ditekuni masyarakat setempat, tingkat konsumsinya memang tidak terlalu besar. Sejak awal, dendeng tokek diproduksi memang bukan untuk konsumsi sehari-hari, namun untuk alternatif pengobatan. Waktu itu hanya untuk memenuhi pasar Jakarta. Pak Haji sendiri baru memulai bisnis ini tahun 1998, dan pesanan diperolehnya secara kebetulan.

Bisa dibilang menjalankan bisnis pengolahan dendeng tokek ini tidak butuh modal besar. Tokek dicari di lingkungan tempat tinggal mereka. Proses pengolahan tokek menjadi makanan kering, tak terlalu rumit. Tokek-tokek yang telah dimatikan ini, tubuhnya dibelah dan seluruh isinya dikeluarkan.

Bagi yang tidak terbiasa bergaul dengan tokek, akan merasa geli. Kulit tubuhnya bersisik dan terdapat totol-totol berwarna ungu. Namun bagi kebanyakan masyarakat Gending Leces, menguliti tokek menjadi bagian dari pekerjaan sehari-hari.

Tokek yang telah bersih dan dibentuk mirip sayap ini, lalu dimasukkan ke dalam oven. Panas oven harus merata, agar tokek tidak mentah dan juga tidak terlalu matang. Tokek dipanggang dalam oven selama 2 hari dua malam dengan suhu 60 derajat celcius.

Tokek yang telah menjadi dendeng ini, siap dikemas. Harga jualnya perekor 1500 rupiah. Untuk pasar dalam negeri, dendeng tokek dijual dalam keadaan tanpa kepala dan kaki. Sedangkan untuk pasar luar negeri, dikemas utuh berikut kepala dan kaki. Kemasan untuk ekspor memang harus diperlakukan ekstra hati-hati dan serapi mungkin.

Dendeng tokek dalam kemasan ini bisa tahan selama seminggu. Agar lebih awet, dapat disimpan di lemari pendingin. Untuk pasaran ekspor sedikitnya membutuhkan 60 ribu ekor tokek, sekali pengiriman. Kemasan-kemasan dendeng tokek ini selanjutnya diekspor ke sejumlah negara seperti Singapura, Taiwan, Cina, Hongkong, Jepang dan Korea.

Dendeng tokek bisa langsung dikonsumsi, tanpa harus diolah lagi. Bahkan masyarakat sekitar Gending Leces, biasa mengkonsumsi tokek dalam keadaan mentah. Tokek diyakini bisa menyembuhkan berbagai penyakit kulit mulai dari jerawat hingga eksim.

Selain bertani, masyarakat Gending Leces juga punya pekerjaan lain. Sebagai pemburu tokek. Ada yang sepenuhnya sebagai pemburu tokek, sebagian ada pula yang menjadikan pekerjaan berburu tokek sebagai pekerjaan sampingan sembari bertani.

Beginilah cara mereka berburu tokek. Biasanya terbagi dalam kelompok beranggotakan 8 hingga 10 orang. Perburuan tokek dimulai menjelang malam. Persiapannya tak terlalu rumit. Hanya berbekal lampu sorot, keranjang dan galah dengan pengkait diujungnya. Dengan bersepeda, mereka akan menempuh jarak puluhan kilometer.

Ada pula kelompok yang memilih berburu tokek dengan berjalan kaki. Dari desa ke desa. Dari hutan ke hutan dan mereka baru pulang saat subuh menjelang.

Tokek, yang menjadi primadona bisnis di Probolinggo, sangat mudah didapat. Bahkan hampir diseluruh wilayah Indonesia, tokek bisa dijumpai. Tokek hidup dan berkembang biak di hutan jati, pemakaman dan rumah-rumah penduduk.

Biasanya tokek akan berkeliaran pada malam hari, saat musim kemarau dan terang bulan. Namun disaat musim hujan, tak banyak tokek yang berkeliaran. Memang agak sulit mengenali tokek di kegelapan malam. Harus teliti dan waspada. Karena mendengar suara berisik sedikitpun, tokek akan kabur.

Menangkapnya tak terlalu sulit, karena jika terpapar cahaya tokek tidak akan kabur. Meski begitu, harus tetap hati-hati. Binatang melata ini selain suka menggigit, ditenggarai juga memiliki racun dikepalanya, namun tak seganas bisa ular.

Suparman, Sumarto da anggota kelompok lainnya, malam itu cukup beruntung. Di lokasi pemakaman yang tak jauh dari tempat tinggal, mereka berhasil menangkap sedikitnya 20 ekor tokek per-orang. Namun disaat musim kemarau, masing-masing bisa menangkap minimal 50 ekor.

Tak selamanya berburu tokek di hutan jati, pemakaman atau rumah penduduk membawa keberuntungan. Para pemburu tokek ini pernah punya pengalaman pahit, disangka pencuri.

Keesokan harinya, mereka menyetor tokek-tokek ini kerumah pengusaha dendeng tokek. Per-ekor dihargai Rp 1100. Dirumah Pak Haji Budi, tokek-tokek ini tak langsung diolah menjadi dendeng. Namun dipilah-pilah, jantan betina. Ukuran tubuhnya pun diperhatikan betul, agar memenuhi standar mutu.

Berbeda dengan tokek jantan, anakan tokek betina akan dibiakkan lebih dulu hingga dewasa, dalam kandang penangkaran. Makanan mereka, belatung dan lalat. Butuh waktu 2 atau 3 bulan, tokek ini akan bertelur minimal 20 butir sekali bertelur. Setelah bertelur, tokek betina dewasa bisa langsung diolah.

Upaya penangkaran ini dilakukan Pak Haji, mengingat kebutuhan pasar ekspor kadang tidak dapat dipenuhi karena langkanya tokek. Dalam setahun, Pak Haji minimal 4 hingga 5 kali, masing-masing sebanyak 60 ribu ekor dendeng tokek.

Usaha penangkaran memang baru dijalankan Pak Haji setahun belakangan ini, karena permintaan ekspor yang terus melonjak. Tampaknya perlu sentuhan tangan pemilik modal, siapa tahu sang primadona bisnis masyarakat Gending Leces, Probolinggo, Jawa Timur ini, bisa berkembang pesat.(Idh)